Wednesday, June 7, 2017

Memahami Pemikiran Hassan Hanafi


A.    Riwayat Hidup Hassan Hanafi
Hasan Hanafi lahir dari keluarga musisi pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Riwayat pendidikan Hasan Hanafi diawali dengan menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1948 di Madrasah Sanawiyah Khalil Agha Kairo yang di selesaikan dalm waktu empat tahun. Sejak berada di Sanawiyah Hanafi aktif mengikuti aktiviyas sosial dan  diskusi-diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin yang membuat ia mengetahui pemikiran-pemikiran yang berkembang di kelompok.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri (Al-Yasar Al-Islami ) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi,tetapi telah menformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.


B.     Pemikiran Kalam Hassan Hanafi
a.       Kritik terhadap teknologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekontruksi teknologi tradisianal, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional menurut Hanafi lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudnya untuk menguatkan dan mempertahankan dokrin-dokrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan dari berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Oleh karena itu kerangka konseptual masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik harus di ubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.[1]
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran  murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan,melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena itu,kritik teologi merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia,teologi  terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata theos dan logos, melainkan ilmu tentang kata(ilm al-kalam).[2]
Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional di tempat yang sebenarnya,yaitu bukan ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis.[3]
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat. Pertama, pada tingkat teoretis gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis. Kedua,pada tingkat praksis gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme[4]
b.      Rekonstruksi teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional,Hanafi mengajukan saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi,serta membangun kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epistemologi baru yang sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekadar dogma-dogma yang kososng,tetapi menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
Langkah melakukan rekonstruksi teologi dilatarbelakangi oleh tiga hal.
      Pertama,kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Kedua,pentingnya teologi baru ini bukan pada sisi teoretiknya,melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.
Ketiga,kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah), yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya teologi dunia,yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam dibawah orde.
Rekonstruksi teologi bagi Hanafi adalah salah satu cara yang harus ditempuh jika diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan. Baik secara eksistensial,kognitif maupun kesejarahan.
Pemikiran Hasan Hanafi bertolak dari penjelajahan iman dan intelektualnya dalam menghidupkan kembali semangat ilmu kalam dari iman ke nalar hingga menuju aksi. Proyek penjelajahan tersebut dia sebut dengan at-Turats wa at-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan). Salah satu karya monumentalnya adalah Min al-‘Aqidah ila al-tsawrah (Dari akidah ke revolusi). Hasan Hanafi merombak total isu-isu ilmu kalam, dari hanya semata-mata isu bangun teologi yang berkaitan dengan hal-hal yang bernuansa teosentris, menjadi isu problema kemanusiaan yang bernuansa antroposentris. Bahkan dengan latar belakang kehidupannya yang dibesarkan di tengah debu revolusi negeri-negeri Muslim yang terampas, Hasan Hanafi malah mengobarkan revolusi dari akidah tersebut.
Rumusan-rumusasn teologis selama ini bertumpu pada pemaparan substansi wujud Tuhan Yang Maha Mutlak sebagai yang maha kuasa dan Maha Berkehendak. Dialah yang memulai segala sesuatu, dan Dia pulalah yang mengembalikan segala sesuatu itu. Dia yang memulai dan Dia pula yang menetapkan segalanya. Dia yang menghidupkan dan Dia pula yang mematikan. Maka, seorang teolog klasik seakan-akan bercengkrama dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Dahsyat ini, hingga mencapai drajat fana bersama-Nya.
Salah satu titik terpenting dari kritik Hasan Hanafi terhadap Ilmu Kalam adalah teori tentang “ketidakbutuhan Allah kepada selain-Nya dan Kebutuhan yang Lain Kepada-Nya.”  Implikasi dari teri ini menurut Hassan Haafi adalah bahwa  pemikiran Islam menetapkan Allah dan mengugurkan alam, mempertahankan dzat ilahyah dan tidak memperhitungkan zat manusia dan bertekad untuk menapai puncak dengan menghiraukan dasar. Inilah yang menyebabkan umat Islam mengalami kesengsaraan di bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Upaya untuk mengatasi kondisi tersebut adalah dengan menegaskan kembali semangat tauhid. Tauhid dalam pandangan Hasan Hanafi terbagi dua, yakni tauhid ucapan dan tauhid perbuatan. Tauhid ucapan adalah tauhid yang terdapat dalam kalimah syahadat pertama “tiada tuhan melainkan Allah.” Kalimah syahadah pertama ini mengandung peniadaan dan penegasan. Oleh sebab itu tauhid mengandung dua tindakan, yakni tindakan yang bersifat peniadaan terhadap segala bentuk penahanan modern yang telah menimbulkan krisis. Bagi kalangan ilmuan rumusan ini menjadi kawasan konsepsional, sedangkan bagi rakyat biasa merupakan energi yang mendorong untuk melakukan suatu gerakan.
Program aksi yang digagas oleh Hasan Hanafi merupakan bentuk baru dari studi-studi Ilmu Kalam yang selama ini hanya muncul dalam bentuk  lazzah ‘aqliyah (konsumsi nalar) semata. Namun ditangan Hasan Hanafi Ilmu Kalam berubah menjadi program besar dan menyeluruh terhadap bangunan kesadaran kaum muslimin dalam menghadirkan agamanya sebagai rahmat semesta alam.
Akhirnya Hasan Hanafi menegaskan bahwa bila para mutakalimun masa lampau dalam membela tauhid telah menaklukan berbagai negri, berperang dalam jalan Allah, dan membebaskan kemanusiaan dari berbagai belenggu dalam meninggikan kalimah Allah mereka telah memperoleh kemenangan karena pemikiran dan Syariat. Tugas kita dewasa ini adalah menyerukan jihad kepada umat untuk membebaskan negeri-negeri muslim, dan mengembalikan bumi-bumi kita yang dirampas. Ini dilakukan dengan memancarkan semangat tauhid untuk menumbuhkan kekuatan kaum muslimin, dan mengembalikan tauhid mereka ke bumi.[5]








[1] E.Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi, Logos, Jakarta, 1999, hlm.63-64
[2] Ridwan, o.cit.hlm.45
[3] Ibid,hlm. 46
[4] mbuh
[5] Prof. Dr. M. Yunan Yusuf , Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm.245-247

0 komentar:

Post a Comment