A.
Riwayat Hidup Hassan Hanafi
Hasan Hanafi
lahir dari keluarga musisi pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Riwayat
pendidikan Hasan Hanafi diawali dengan menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1948
di Madrasah Sanawiyah Khalil Agha Kairo yang di selesaikan dalm waktu empat
tahun. Sejak berada di Sanawiyah Hanafi aktif mengikuti aktiviyas sosial
dan diskusi-diskusi kelompok Ikhwan
Al-Muslimin yang membuat ia mengetahui pemikiran-pemikiran yang berkembang di
kelompok.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri (Al-Yasar
Al-Islami ) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak
revolusi 1952. Kiri Islam meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek
besar Hanafi,tetapi telah menformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang
ideal tentang sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.
B.
Pemikiran Kalam Hassan Hanafi
a.
Kritik
terhadap teknologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekontruksi teknologi tradisianal, Hanafi
menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan
(teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi
tradisional menurut Hanafi lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman
sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari
sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudnya untuk menguatkan dan
mempertahankan dokrin-dokrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Sementara
itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai
kekalahan dari berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Oleh
karena itu kerangka konseptual masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan
klasik harus di ubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari
kebudayaan modern.[1]
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan
kesejarahan,melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena
itu,kritik teologi merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran
manusia,teologi terbuka untuk kritik. Menurut
Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis
berasal dari kata theos dan logos, melainkan ilmu tentang kata(ilm al-kalam).[2]
Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional di tempat yang
sebenarnya,yaitu bukan ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan
lagi dan harus diterima secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan
yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis
maupun eidetis.[3]
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai
kepentingan dan sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada
dua tingkat. Pertama, pada tingkat teoretis gagal mendapat pembuktian ilmiah
dan filosofis. Kedua,pada tingkat praksis gagal karena hanya menciptakan
apatisme dan negativisme[4]
b.
Rekonstruksi
teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional,Hanafi mengajukan
saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, mungkin untuk memfungsikan teologi
menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan
rekonstruksi dan revisi,serta membangun kembali epistemologi lama yang rancu
dan palsu menuju epistemologi baru yang sahih dan lebih signifikan. Tujuan
rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekadar dogma-dogma
yang kososng,tetapi menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi manusia.
Langkah melakukan rekonstruksi teologi dilatarbelakangi oleh tiga
hal.
Pertama,kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Pertama,kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Kedua,pentingnya teologi baru ini bukan pada sisi
teoretiknya,melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk mewujudkan
ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini
adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.
Ketiga,kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah
fi’liyah), yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi
tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya teologi dunia,yaitu teologi
baru yang dapat mempersatukan umat islam dibawah orde.
Rekonstruksi teologi bagi Hanafi adalah salah satu cara yang harus ditempuh
jika diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi untuk mentransformasikan teologi menuju
antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan. Baik secara
eksistensial,kognitif maupun kesejarahan.
Pemikiran Hasan Hanafi bertolak dari penjelajahan iman dan
intelektualnya dalam menghidupkan kembali semangat ilmu kalam dari iman ke
nalar hingga menuju aksi. Proyek penjelajahan tersebut dia sebut dengan at-Turats
wa at-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan). Salah satu karya monumentalnya
adalah Min al-‘Aqidah ila al-tsawrah (Dari akidah ke revolusi). Hasan
Hanafi merombak total isu-isu ilmu kalam, dari hanya semata-mata isu bangun
teologi yang berkaitan dengan hal-hal yang bernuansa teosentris, menjadi
isu problema kemanusiaan yang bernuansa antroposentris. Bahkan dengan
latar belakang kehidupannya yang dibesarkan di tengah debu revolusi
negeri-negeri Muslim yang terampas, Hasan Hanafi malah mengobarkan revolusi
dari akidah tersebut.
Rumusan-rumusasn teologis selama ini bertumpu pada pemaparan
substansi wujud Tuhan Yang Maha Mutlak sebagai yang maha kuasa dan Maha
Berkehendak. Dialah yang memulai segala sesuatu, dan Dia pulalah yang
mengembalikan segala sesuatu itu. Dia yang memulai dan Dia pula yang menetapkan
segalanya. Dia yang menghidupkan dan Dia pula yang mematikan. Maka, seorang
teolog klasik seakan-akan bercengkrama dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Dahsyat
ini, hingga mencapai drajat fana bersama-Nya.
Salah satu titik terpenting dari kritik Hasan Hanafi terhadap Ilmu
Kalam adalah teori tentang “ketidakbutuhan Allah kepada selain-Nya dan
Kebutuhan yang Lain Kepada-Nya.” Implikasi dari teri ini menurut Hassan Haafi
adalah bahwa pemikiran Islam menetapkan
Allah dan mengugurkan alam, mempertahankan dzat ilahyah dan tidak
memperhitungkan zat manusia dan bertekad untuk menapai puncak dengan menghiraukan
dasar. Inilah yang menyebabkan umat Islam mengalami kesengsaraan di bidang
politik, ekonomi, dan sosial.
Upaya untuk mengatasi kondisi tersebut adalah dengan menegaskan
kembali semangat tauhid. Tauhid dalam pandangan Hasan Hanafi terbagi
dua, yakni tauhid ucapan dan tauhid perbuatan. Tauhid ucapan adalah tauhid yang
terdapat dalam kalimah syahadat pertama “tiada tuhan melainkan Allah.” Kalimah
syahadah pertama ini mengandung peniadaan dan penegasan. Oleh sebab itu tauhid
mengandung dua tindakan, yakni tindakan yang bersifat peniadaan terhadap segala
bentuk penahanan modern yang telah menimbulkan krisis. Bagi kalangan ilmuan
rumusan ini menjadi kawasan konsepsional, sedangkan bagi rakyat biasa merupakan
energi yang mendorong untuk melakukan suatu gerakan.
Program aksi yang digagas oleh Hasan Hanafi merupakan bentuk baru
dari studi-studi Ilmu Kalam yang selama ini hanya muncul dalam bentuk lazzah ‘aqliyah (konsumsi nalar) semata.
Namun ditangan Hasan Hanafi Ilmu Kalam berubah menjadi program besar dan menyeluruh
terhadap bangunan kesadaran kaum muslimin dalam menghadirkan agamanya sebagai
rahmat semesta alam.
Akhirnya Hasan Hanafi menegaskan bahwa bila para mutakalimun masa
lampau dalam membela tauhid telah menaklukan berbagai negri, berperang dalam jalan
Allah, dan membebaskan kemanusiaan dari berbagai belenggu dalam meninggikan
kalimah Allah mereka telah memperoleh kemenangan karena pemikiran dan Syariat.
Tugas kita dewasa ini adalah menyerukan jihad kepada umat untuk membebaskan
negeri-negeri muslim, dan mengembalikan bumi-bumi kita yang dirampas. Ini
dilakukan dengan memancarkan semangat tauhid untuk menumbuhkan kekuatan kaum
muslimin, dan mengembalikan tauhid mereka ke bumi.[5]
0 komentar:
Post a Comment